Guru

PENERAPAN PENILAIAN ONLINE

BERBASIS MICROSOFT FORMS

Oleh:

Cahyono, S.Kom.,M.Pd.

Guru SMA Negeri 2 Tegal

Ulangan, ujian, tugas, pekerjaan rumah adalah bagian dari penilaian hasil belajar siswa di kelas. Biasanya kehadiran dan keaktifan siswa dalam berdiskusi dijadikan salah satu acuan pendidik dalam memberikan penilaian terhadap performa mereka. Metode penilaian ini tidak salah, tetapi di dunia pembelajaran abad ke-21 ini, pendidik harus dapat memaksimalkan potensi siswa dalam mendorong mereka agar sukses dan tentunya sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Di tengah pandemi seperti saat ini, masa perpanjangan pembelajaran jarak jauh menjadi tantangan bagi siswa, orang tua, khususnya guru sebagai subjek pendidikan. Dalam kondisi yang mengharuskan pembelajaran tidak dilakukan dengan bertatap muka, guru memiliki amanat untuk memastikan siswa mendapatkan materi sesuai tuntutan kurikulum yang ada. Maka dari itu, metode pembelajaran berbasis daring diharapkan menjadi solusi terhadap masalah yang dihadapi selama proses pembelajaran di rumah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nadiem Makarim dalam edukasi.kompas.com (28/3) bahwa sistem pembelajaran secara daring ini merupakan masa pembelajaran untuk semua pihak termasuk kementerian., sehingga semua harus beradaptasi dengan cepat.

Pendidik dapat menggunakan metode alternatif dalam memberikan penilaian terhadap siswa melalui kuis. Kuis yang diberikan berupa pertanyaan singkat mengenai topik pelajaran tertentu dan bisa diberikan baik sebelum proses belajar mengajar dimulai ataupun di akhir pembelajaran. Siswa juga bisa mendapatkan nilai tambahan apabila jawaban yang dipilihnya adalah jawaban yang tepat. Pendidik dapat memanfaatkan Microsoft Forms dalam membuat kuis interaktif.

Microsoft Forms memiliki beberapa fitur, di antaranya dapat membuat pertanyaan, mengatur pengaturannya, membagikan kepada orang lain, dan melihat hasil analisis responden yang masuk, dapat menambahkan foto dan video ke dalam formulir atau kuis, hasil responden yang masuk secara otomatis akan dianalisis dalam bentuk grafik, memiliki tampilan yang web-friendly dan mobile-firendly.

Penerapan strategi yang dipilih, yaitu penilaian online berbasis Microsoft Forms dilakukan dalam pembelajaran Informatika kelas 10. Guru mulai mencoba menggunakan metode tersebut untuk penilaian hasil belajar siswa. Selama proses pembelajaran berlangsung, dilakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa. Untuk lebih jelas, berikut ini akan dipaparkan secara rinci proses pembelajaran yang dilaksanakan beserta hasilnya.

Pembelajaran diawali dengan kegiatan apersepsi yang dilakukan dengan mengajak seluruh siswa bermain sambil belajar menggunakan aplikasi Kahoot.com. Pada saat itu, tampak siswa aktif menjawab soal-soal dengan cepat dan tepat. Selanjutnya, memasuki kegiatan inti siswa melakukan penilaian hasil belajar menggunakan fitur Microsoft Forms melalui gawai masing-masing. Siswa dengan cepat dan tepat menjawab soal-soal tanpa harus menulis di kertas.

Pelaksanaan pembelajaran melalui penilaian online berbasis Microsoft Forms telah menciptakan suatu perubahan positif, baik pada proses maupun hasil belajar siswa. Namun, tidak dapat dipungkiri adanya kendala-kendala yang dihadapi ketika proses pembelajaran berlangsung. Mengatasi permasalahan yang muncul, tentunya tidak lepas dari adanya faktor-faktor pendukung. Diantaranya antuasiasme siswa yang besar terhadap pembelajaran melalui Microsoft Forms, kerja sama dan respon yang baik dari Kepala Sekolah, guru dan seluruh siswa.

Pada akhirnya, setiap guru harus mampu melakukan inovasi pembelajaran dalam kondisi apapun terutama dalam situasi pandemi Corona atau Covid-19. Pembelajaran berbasis daring seakan menjadi tren selama pandemi Corona seperti saat ini. Kondisi ini diharapkan tidak mematahkan semangat belajar para siswa karena pendidikan harus menjadi prioritas utama. Sebagaimana penulis kutip dari liputan6.com (28/3), untuk mendukung kebutuhan dalam keberlangsungan kegiatan belajar, platform pembelajaran online dapat diakses oleh siswa-siswi untuk mengikuti kelas tanpa harus datang ke sekolah.


PEMBELAJARAN STEM Project Based Learning

PADA PEMBANGKIT LISTRIK DARI BAHAN SEHARI-HARI (PLBS)

Oleh:

Tarsilah Waryuni, S.Si., M.Pd.

Guru Kimia SMA Negeri 2 Kota Tegal

Pembelajaran dengan pendekatan STEM menerapkan peserta didik belajar suatu topik dengan mengintegrasikan sains, teknologi, teknik, dan matematika untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam dunia nyata dan kehidupan sehari-hari.

Tujuan Pendidikan STEM menurut Bybee (2013) diantaranya peserta didik mengenal STEM, yang mempunyai pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengidentifikasi pertanyaan dan masalah dalam kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain serta menarik kesimpulan berdasarkan bukti mengenai isu terkait STEM. Pembelajaran sains dengan pendekatan STEM melatih peserta didik dalam berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran dengan pendekatan STEM mendukung tuntutan pendidikan dalam menghadapi abad 21 yang juga merupakan target kompetensi di dalam kurikulum 2013, antara lain kemampuan literasi, kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta penguasaan terhadap teknologi dan keterampilan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills (HOTS)) yang sangat diperlukan dalam mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan global.

Penyajian pembelajaran dengan pendekatan STEM harus memenuhi beberapa aspek dalam Scientific & Engineering Practice, juga menggambarkan adanya Crosscutting Concept atau irisan konsep di antara pengetahuan sains, teknologi, enjinering dan matematika. Selain itu Higher Order Thinking Skills menjadi keharusan di dalam pembelajaran maupun penilaiannya.

Pembelajaran dengan pendekatan STEM topik PLBS ini disajikan di kelas XII semester 1 SMA Negeri 2 Tegal. Kompetensi dasar yang harus dicapai melalui pembelajaran ini adalah: KD 3.4 Menganalisis proses yang terjadi dalam sel volta dan menjelaskan kegunaannya dan KD, 4.4 Merancang sel volta dengan menggunakan bahan di sekitar. Alokasi yang diperlukan 4 JP Pembelajaran menggunakan model Project Based Learning dengan pendekatan STEM atau STEM Project Based Learning. Sebelum mempelajari topik PLBS ini, peserta didik harus memahami konsep prasyarat yaitu konsep sel volta, mulai dari rangkaian sel volta sampai perhitungan potensial sel yang dihasilkan dari suatu sel volta.

Pembelajaran STEM Pada Unit Pembangkit Listrik dari Bahan Sehari-Hari (PLBS)

Konsep yang mendukung pada PLBS ini adalah sel volta. Rangkaian set PLBS ini terdiri atas elektroda, capit buaya, buah-buahan/sayuran sebagai sumber larutan, voltmeter. Dengan kreatifitas peserta didik dapat membuat rangkain set Alat PLBS ini sehingga dapat menghasilkan arus listrik.

Menurut Pratama (2007) dalam Hana (2015) beberapa buah yaitu jeruk, apel, belimbing dan buah-buahan yang lain dapat juga menghasilkan energi listrik. Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan beberapa jenis buah yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Bahan organik yang dimanfaatkan adalah kandungan asam sitrat (C6H8O7) yang banyak terdapat pada buah-buahan, terutama buah lemon dan jeruk nipis yang memiliki kandungan asam sitrat paling banyak dibandingkan buah lain.

Melalui pembelajaran PLBS dengan pendekatan STEM dapat melatih peserta didik dalam berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi. Keterkaitan antara sain, teknologi, enjinering dan matematika pada pembelajaran topik PLBS sebagai berikut : Sains: Pengetahuan sains yang diperoleh peserta didik terdiri atas konsep sel volta dengan menggunakan elektroda Cu dan Zn.. Teknologi: Teknologi yang dilatihkan pada peserta didik berkaitan dengan set alat pembangkit listrik, cara menggunakan computer, aplikasi dan memanfaatkan TIK dalam mencari ide/informasi, mendesain, mengolah data, analisis, membuat laporan hasil kerja prinsip sel volta yang menggunakan sumber listrik dari bahan sehari hari. Engineering: Enjinering atau kegiatan merekayasa pada pembelajaran ini melatih peserta didik dalam keterampilan merancang prosedur dan membuat set alat pembangkit listrik sederhana, mengevaluasi kinerja alat yang telah dibuat. Matematika: matematika pada pembelajaran ini digunakan dalam proses rekayasa mendesain percobaan, mengolah data hasil percobaan seperti menghitung biaya yang diperlukan dalam merancang set alat, menghitung kebutuhan pembuatan set alat untuk menjalankan alat uji yang merupakan penerapan konsep sel volta dalam kehidupan sehari-hari, mengukur arus dan tegangan, perhitungan rumus arus dan tegangan.


MODEL ASESMEN LITERASI SAINS SISWA BERBASIS IPA TERPADU UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI LULUSAN SMA PROGRAM MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (MIPA)

Oleh:

Tarsilah Waryuni, S.Si., M.Pd.

Guru Kimia SMA Negeri 2 Kota Tegal

Literasi sains masyarakat yang tinggi berpengaruh sangat signifikan terhadap kemajuan suatu bangsa. Hal ini disebabkan literasi sains masyarakat berpengaruh positif terhadap kualitas pembangunan ekonomi, demokrasi, budaya, dan kualitas kepribadian seseorang. Oleh karenanya di banyak negara maju, pencapaian literasi sains siswa adalah tujuan utama dalam pendidikan sains, khususnya program MIPA. Hal ini sejalan dengan capaian literasi sains yang dikembangkan oleh PISA ( Programme for International Science Student Assesment).

Standar kompetensi yang telah dibuat oleh pemerintah selama ini diukur lewat ujian nasional (UN). Namun demikian ada beberapa kelemahan penyelenggaraan UN. Pertama, tidak menggunakan hasil ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan sehingga tidak ada jaminan pemenuhan terhadap standar kompetensi bagi siswa SMA yang lulus. Kedua, tidak semua mata pelajaran yang membangun kompetensi sains diujikan, siswa boleh memilih salah satu mata pelajaran saja. Hal ini menyebabkan kemampuan siswa yang lulus tidak komprehensif sesuai dengan standar kompetensi yang seharusnya dikuasai siswa. Demikian pula di tingkat internasional, pemerintah belum pernah mengikuti survey untuk prestasi belajar di tingkat SMA sehingga tidak mempunyai parameter kualitas lulusan SMA di Indonesia (Susongko P, 2017).

Berkaitan dengan hal tersebut perlu ada ujian yang komprehensif yang memastikan bahwa kompetensi yang dimiliki siswa SMA telah sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan. Ujian ini diharapkan berbentuk tes standar dari tiga aspek yang meliputi isi, capaian literasi sains dan model pengukurannya. Beberapa studi menunjukkan bahwa pembelajaran IPA yang disajikan secara terpadu mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap peningkatan literasi sains siswa.

PISA mendefinisikan literasi sains sebagai kemampuan untuk terlibat dengan isu-isu terkait sains, dan dengan gagasan sains, sebagai wujud reflektif. Wacana yang berkaitan tentang sains dan teknologi, membutuhkan kompetensi untuk: 1) Menjelaskan fenomena secara ilmiah: mengenali, menawarkan, dan mengevaluasi penjelasan untuk berbagai fenomena alam dan teknologi. 2) Mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah: mendeskripsikan dan menilai penyelidikan ilmiah dan mengusulkan cara untuk menjawab pertanyaan secara ilmiah. 3) Menginterpretasikan data dan bukti secara ilmiahumen dalam berbagai representasi dan menarik kesimpulan ilmiah yang sesuai. Dari beberapa definisi literasi sains tersebut, definisi yang digunakan PISA ini lebih operasional dan mudah untuk diaplikasikan pada tes prestasi belajar IPA.

Studi yang dilakukan oleh Maria Astrom terhadap hasil PISA 2006 menunjukkan ada perbedaan kemampuan literasi sains pada siswa yang belajar IPA secara terpadu dan yang belajar IPA secara terpisah bahkan untuk siswa perempuan perbedaan ini sangat signifikan. Ada kecenderungan negara-negara yang meyelenggarakan pembelajaran IPA secara terpadu memiliki literasi sains yang lebih tinggi dibanding negara–negara yang menyajikan pembelajaran IPA secara terpisah (Fisika, Kimia, dan Biologi). Di Belgia, negara yang menyajikan pembelajaran IPA secara terpadu memiliki literasi sains yang lebih tinggi dibanding negara lainya. Di Indonesia menyajikan IPA secara terpadu juga memberikan kemapuan literasi sains yang lebih tinggi dibanding disajikan secara terpisah.

Argumen teoretis dan ideologis yang paling umum dalam mendukung pembelajaran IPA terpadu adalah: a) Realitas tidak diatur dalam subyek yang terpisah, b) Murid melihat gambaran besar pengetahuan yang tidak terfragmentasi, c) Instruksi terpadu meningkatkan motivasi siswa, d) Relevansi dimana konten diatur di sekitar masalah dunia nyata dan secara sosial dengan tema yang relevan, e) Koneksi dengan teori pedagogis konstruktivisme sosial dimana lebih banyak perhatian untuk hubungan di antara ide-ide.

Dari beberapa kajian tersebut dan uji coba tes literasi sains terhadap siswa kelas XII MIPA di SMAN 2 Tegal TP 2019/2020 menunjukkan kompetensi IPA terpadu lebih banyak mendukung ke arah peningkatan literasi sains siswa. Hal ini menunjukkan peningkatan kemampuan analisis siswa SMA program MIPA dalam mengkaji kasus-kasus nyata dilihat dari perspektif IPA secara holistik. Untuk mencapai hal itu semua maka dalam asesmen kompetensi literasi sains siswa dibuat dalam pendekatan IPA terpadu.


SETS, MENINGKATKAN ANTUSIAS BELAJAR SISWA

Tarsilah Waryuni, S.Si, M.Pd., Guru Kimia SMAN 2 Tegal

Selama ini, proses pembelajaran hanya menekankan pada sains murni tanpa mengkaitkan antara sains yang dipelajari dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat sebagai satu kesatuan (terintegrasi) akibatnya siswa kurang memiliki kemampuan memandang sains sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dengan lingkungan, teknologi, dan masyarakat sehingga minat belajar siswa menurun dan hasil belajar rendah. Oleh karena itu, perlu diperkenalkan pendekatan pembelajaran baru yang mengkaitkan antara unsur sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat serta pengalaman siswa sehari hari yaitu dengan pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society).

Konsep sains yang dipelajari siswa pada materi pembelajaran kimia di SMA Negeri 2 Tegal dengan penerapan SETS maupun penerapan NONSETS pada dasarnya sama, hanya karena pembelajaran yang terintegrasi dengan memperhatikan keempat unsur SETS yaitu Science, Environment, Technology, dan Society, maka siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan SETS memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pengetahuan yang dimilikinya. Tentu saja karena sifat pembelajaran dengan penerapan SETS memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan pembelajaran dengan penerapan NONSETS seperti diungkap oleh Binadja (1999a: 1-2). Penelitian pada kedua kelas yang telah dilakukan dengan penerapan SETS dan NONSETS membuktikan kebenaran ungkapan tersebut. Sebagaimana hasil penelitian yang sudah disampaikan, kelompok SETS memiliki antusias 30% lebih besar dibanding kelompok NONSETS.

Berdasarkan hasil pengamatan, pembelajaran dengan penerapan SETS membuat siswa mengerti keterkaitan antara sains yang sedang dipelajari dengan teknologi, lingkungan dan masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan saat pembelajaran secara umum, bahwa pengetahuan siswa bertambah bukan hanya hafalan materi dan konsep sains saja, tetapi juga aplikasi ke bentuk teknologi serta dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat.

Pada pembelajaran, siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan SETS dapat memahami keterkaitan antara sains dengan teknologi secara timbal balik. Sejalan dengan adanya kemajuan teknologi maka siswa dapat memanfaatkan pengetahuannya untuk kehidupan sehari-hari dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian siswa dapat mengetahui bagaimana teknologi mempengaruhi laju pertumbuhan sains serta dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat. Adapun siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penerapan NONSETS tidak diajak berpikir global seperti halnya pada pendekatan SETS. Siswa hanya belajar teks saja tanpa mengaitkan antara materi yang dipelajari dengan penerapan dalam kehidupan.

Pemikiran terintegratif bahwa teknologi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan sains juga terbentuk pada siswa kelompok SETS ketika siswa belajar tentang suatu materi. Di samping itu juga ketika siswa belajar mengenai pengetahuan seara umum akan selalu mengaitkan dengan tenologi apa yang dapat dicapai dan manfaat yang dapat dirasakan masyarakat serta dampak yang mungkin timbul pada lingkungan.

Konsep sains dalam hal ini pengetahuan mengenai suatu hal mendorong manusia untuk dapat memanfaatkannya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun ada kalanya proses pemenuhan kebutuhan itu dapat merugikan masyarakat dan lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan mental. Seperti pada peristiwa pengeboman kota Nagasaki dan Hiroshima Jepang pada tahun 1945. Pada peristiwa ini manusia menerapkan konsep sains (isotop) ke bentuk teknologi (bom nuklir) untuk mencapai ambisi kemenangan dalam perang. Jatuhnya bom nuklir di kedua kota tersebut telah menelan korban yang tidak sedikit, lingkungan fisik rusak parah, lingkungan mental para korban bencanapun menyedihkan. Pada kelompok SETS guru mengajak siswa berdiskusi mengenai peristiwa pengeboman tersebut. Banyak siswa yang menentang dan mengecam keras pengeboman sadis itu dengan alasan dapat merugikan masyarakat dan lingkungan, namun di sisi lain ada siswa yang mendukung peristiwa itu karena dengan hancurnya Jepang bangsa Indonesia dapat memproklamasikan kemerdekaan. Pada proses pembelajaran siswa aktif menyampaikan pendapat mereka masing-masing yang tentunya ditinjau dari segi sains, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Gurupun memberi wacana bahwa peristiwa itu perlu ditinjau dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini sudut pandang sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. Kesimpulan diskusi ini bahwa penerapan ilmu pengetahuan (ilmu isotop) ke dalam bentuk teknologi yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat sedapat mungkin tidak membahayakan lingkungan. Inilah manfaat penerapan SETS dalam pembelajaran, bahwa peserta didik mempunyai pola pikir yang menyeluruh (terintegrasi) antara ilmu pengetahuan, lingkungan, teknologi dan masyarakat. Pada kelompok NONSETS pembelajaran konsep sains dalam hal ini konsep isotop sangat menekankan pada sains yang dipelajari. Pembelajaran menekankan pada upaya bagaimana siswa dapat menguasai konsep isotop dan pengertiannya secara lebih mendalam. Diskusi yang terjadipun lebih mengarah pada pemahaman materi dan bukannya terintegrasi dengan aspek lingkungan, teknologi dan masyarakat. Siswapun tidak diajak berpikir tentang pemanfaatan isotop dalam kehidupan sehari-hari.

Penggunaan penerapan SETS dalam pembelajaran mendorong siswa aktif dan kreatif mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapkan pada mereka. Siswapun menjadi tahu bahwa pada saat yang bersamaan masyarakat di lingkungan mereka sedang mengalami permasalahan yang harus segera diselesaikan. Oleh karena itu siswa setiap saat harus peka terhadap lingkungan dan masyarakat dengan selalu mengikuti informasi-informasi baik melalui media massa maupun media elektronik. Pembelajaran mengenai sifat-sifat unsur yang membahas tentang logam, nonlogam, kemiripan sifat unsur segolongan serta wujud zat dapat membantu siswa meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan dan masyarakat. Melalui berbagai sumber informasi siswa dapat mengetahui informasi tentang logam, berbagai industri logam dan masalah-masalah yang dihadapai industri tersebut. Melalui pendekatan SETS guru mengajak siswa untuk berpikir mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi beberapa industri logam di Indonesia setelah mempelajari konsep mengenai logam. Namun perlakuan ini tidak diberikan pada kelompok NONSETS. Pada kelompok NONSETS, siswa hanya mempelajari konsep mengenai logam, non logam, kemiripan sifat unsur segolongan serta wujud zat. Pemahaman siswa lebih ditekankan pada pengertian, contoh-contoh serta diskusi mengenai unsur-unsur yang termasuk kedalam golongan logam, nonlogam, maupun metaloid. Siswa tidak diajak berpikir global mengenai keterkaitan materi tersebut dengan kenyataan hidup sehari-hari siswa baik di masyarakat maupun lingkungan.

Secara umum, dari kedua kelas yang diteliti, tampak bahwa pembelajaran dengan penerapan SETS lebih menarik, membuat siswa aktif, kreatif, kooperatif dan selalu berpikir global sesuai unsur-unsur dalam SETS. Siswa antusias dalam kegiatan pembelajaran dan menggali informasi dari berbagai sumber serta kreatif menyampaikan ide-ide terutama dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang ditawarkan melalui permasalahan yang dihadapkan pada mereka, termasuk dalam mencari alternatif teknologi dalam setiap pembahasan.

Pemikiran yang kreatif mendorong siswa menguasai pengetahuan, manfaat dan efek sampingnya karena setiap saat siswa menganalisis materi pokok dalam bentuk konsep sains dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Keaktifan siswa dalam mencari informasi sendiri dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi pelajaran dapat mendorong siswa menghubungkan dan membandingkan apa yang ada dalam materi pelajaran dengan kejadian sesungguhnya di lingkungan dan masyarakat sehingga wawasan siswa bertambah. Dengan demikian proses pembelajaran menjadi lebih menarik dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar.

Pada pembelajaran dengan penerapan SETS siswa dihadapkan dengan kenyataan yang ada sehingga memacu siswa untuk terus berpikir dan menyadarkan siswa bahwa realita kehidupan nyata mempunyai keterkaitan serta ketergantungan yang erat antara kehidupan manusia bermasyarakat dengan sains, teknologi dan lingkungan serta implikasinya secara terintegratif dalam sistem kehidupan yang berlaku. Belajar tidak hanya berarti mendapat informasi (materi pelajaran) dari guru. Penerapan SETS lebih mengutamakan agar peserta ddik memperoleh kegiatan pembelajaran dan bukan pengajaran serta mengambil pengalaman siswa dalam proses pembelajaran sebagaimana diungkap oleh Binadja (1999c: 7). Saat belajar, siswa perlu terbiasa berpikir dan bertindak secara menyeluruh dengan mengkaitkan materi sains dengan unsur lain dalam SETS. Kebiasaan ini diperlukan agar dapat digunakan atau diterapkan oleh siswa dalam kehidupannya setelah mereka selesai belajar di sekolah formal. Jadi pemikiran yang menyeluruh dengan mengkaitkan seluruh komponen SETS akan selalu terjaga dan tertanam dalam diri siswa meskipun mereka sudah menamatkan belajarnya karena pemikiran ini akan selalu bermanfaat dalam kehidupan bermasyarakat yang menempati lingkungan tertentu.

Melalui pendekatan SETS, gurupun setiap saat selalu mengajak siswa ke arah pemikiran yang menyeluruh (integral) dan kreatif dalam mengkaitkan antara materi sains (sistem periodik dan struktur atom) dengan keberadaan serta implikasi materi tersebut terhadap lingkungan, teknologi dan masyarakat. Guru juga mengajak berpikir bagaimana caranya penggunaan sains dan teknologi dapat bermanfaat bagi masyarakat namun tidak membahayakan lingkungan. Keaktifan guru juga diperlukan dalam mengikuti perkembangan yang ada dan kreatif mengatur kegiatan pembelajaran, berdiskusi, menganalisis (masalah) dan mensintesis (alternatif pemecahan masalah). Keaktifan guru dalam menggali informasi dari berbagai sumber belajar yang berkaitan dengan materi pelajaran juga sangat penting agar siswa juga termotivasi untuk belajar dan menganalisis setiap hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Penggunaan penerapan NONSETS dalam pembelajaran seperti yang diperoleh kelompok NONSETS dalam penelitian ini, sebenarnya sudah umum terjadi di sebagian besar sekolah. Pada pembelajaran dengan pendekatan NONSETS, pembelajaran lebih menekankan pada penguasaan materi pokok dalam bentuk konsep sains tanpa mengkaitkan dengan kenyataan hidup sehari-hari siswa. Padahal konsep sains yang dipelajari siswa sebenarnya sangat terkait dengan lingkungan di sekitar siswa, teknologi, masyarakat maupun kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran ini menuntut siswa dapat menguasai konsep sains secara lebih mendalam sehingga sebagian besar waktu pembelajaran digunakan guru untuk menjelaskan seluruh materi dalam bentuk konsep sains kepada siswa dengan menggunakan metode ceramah bermakna, diskusi informasi dan penugasan. Penugasan yang diberikan guru pada kelompok NONSETSpun cenderung lebih menekankan pada pemahaman konsep sains. Siswa perlu menggali informasi lebih banyak melalui buku-buku pelajaran meskipun buku-buku pelajaran yang digunakan tidak mengandung muatan SETS. Guru sangat menganjurkan siswa dapat mengerjakan soal-soal latihan sehingga pemahaman siswa mengenai konsep sains lebih mendalam.

Melalui pendekatan NONSETS, guru tidak mengajak siswa ke arah pemikiran yang menyeluruh (komprehensif) dan kreatif dalam mengkaitkan antara materi sains dengan keberadaan serta implikasi materi tersebut terhadap lingkungan, teknologi dan masyarakat akibatnya siswa tidak memiliki kamampuan memandang sains secara terintegratif dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat. Siswa cenderung belajar menganalisis materi pokok dalam bentuk konsep sains tanpa menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Kegiatan pembelajaran siswa cenderung pasif, hanya menerima informasi dari guru. Siswa kurang menyadari bahwa sebenarnya konsep sains yang mereka pelajari sangat terkait erat dengan kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat yang menempati lingkungan tertentu.

Pemikiran yang kreatif, dapat mensintesis pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat kurang dimiliki siswa kelompok NONSETS karena siswa tidak dihadapkan dengan kenyataan yang ada sehingga kurang terpacu untuk terus berpikir kreatif. Akibat yang lebih parah adalah kurangnya pemahaman yang lebih mendalam tentang pengetahuan yang mereka miliki.

Melalui penerapan SETS memiliki beberapa keunggulan antara lain: pertama siswa terbiasa memiliki pola pikir yang menyeluruh (komprehensif) dalam memandang materi sebagai sains yang terintegrasi dengan lingkungan, teknologi dan masyarakat, kedua pendekatan SETS dapat membuat siswa mengetahui bahwa teknologi mempengaruhi laju pertumbuhan sains, serta dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat, ketiga pendekatan SETS dalam pembelajaran dapat membantu siswa berpikir kreatif, bersikap aktif dan kooperatif serta mampu memikirkan penerapan materi tersebut ke dalam bentuk teknologi sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, keempat melalui pendekatan SETS siswa menjadi lebih tertarik dalam mempelajari materi karena dikaitkan dengan hal-hal nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan yang dimiliki.

Pada pembelajaran dengan pendekatan SETS seperti ini, siswa memerlukan kegiatan-kegiatan semacam kunjungan industri untuk lebih membantu memperkuat pemahaman siswa tentang pengetahuan yang mereka miliki.

Pendidikan Karakter dalam Serat Tripama

Niken Adaruyung D.K,S.Pd

Guru Bahasa Jawa SMA Negeri 2 Kota Tegal

Pembelajaran saat sekarang ini lebih memfokuskan pada pendidikan karakter. Pelajar SMA saat ini masih sangat membutuhkan sosok yang dapat menjadi panutan dalam diri mereka. Dalam pembelajaran Bahasa Jawa di kelas XII SMA Negeri 2 Tegal semester 2, anak diberikan materi tentang keteladanan tiga kesatria pewayangan dari serat Tripama yang patut mereka contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Serat Tripama menurut Hendri, Dimas. 2008. Serat Tripama, merupakan karya sastra berbentuk tembang Dhandanggula yang berjumlah tujuh bait. Serat Tripama muncul pada zaman Mangkunegaran, diciptakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (KGPAA Mangkunegara IV) di Surakarta. Tripama diterbitkan pertama kali dalam kumpulan karya Mangkunegara IV, jilid III (1927). Serat tripama berisi ajaran keprajuritan, tiga tokoh pawayangaan yang ditampilkan sebagai teladan keprajuritan, yaitu Patih Suwanda, Raden Kumbakarna, dan Raden Basukarna/Adipati Karno.

Serat ini diperkirakan ditulis pada tahun 1860an dengan tujuan agar dijadikan sebagai panutan dan sumber inspirasi untuk diambil suri tauladanya tidak hanya bagi prajurit tetapi juga para pemimpin maupun masyarakat agar mampu melaksanakan tugas sesuai peran dan garisnya masing-masing.

Dua bait pertama mengisahkan tentang Bambang Sumantri yang bergelar Patih Suwanda yang merupakan patih raja Arjuna Sastrabahu (Maespati), ia merupakan contoh abdi yang sangat setia dan teguh dalam menjalankan tugas yang diembankan kepadanya untuk memboyong putri (Citranggada) dan 800 pengiringnya. Dalam syair diatas kita dapat mengemukakan tiga sifat keprajuritan patih suwanda.

Pertama sifat Guna: artinya ahli, pandai dan trampil dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, Patih Suwanda selalu membekali diri dengan ilmu dan ketrampilan. Apapun yang ditugaskan kepadanya pasti diselesaikan dengan sempurna, hingga meraih kesuksesan. Kesuksesan tanpa didasari rasa ikhlas maka apapun yang dikerjakan tidaklah akan menghasilkan secara maksimal. Kedua sifat Kaya: saat patih suwanda diutus raja, dan berhasil. Dia kembali dengan membawa harta hasil rampasan perang. Akan tetapi, hasil rampasan itu tidak dipergunakan sendiri tapi diserahkan kepada negara. Disini memberi contoh kepada kita untuk bisa mengendalikan diri untuk tidak mengambil sesuatu yangbukan miliknya atau memberi sesuatu yang bukan haknya. Sekalipun bisa saja beliau mengambil harta tersebut untuk kepentingan sendiri, tetapi tidak dilakukan karena merasa bahawa kesuksesan apabila bukan karena bantuan negara belum tentu bisa berhasil meraih kemenangan. Dan ketiga sifat Purun : artinya pemberani, suwanda selalu tampil dengan semangat menyala-nyala tanpa pamrih. Apapun yang diperintahkan oleh atasannya, dia tidak menolak ataupun membantah. Hal ini tampak nyata ketika dia diminta menghadapi Ratu negara Alengka yaitu Dasamuka dengan mempertaruhkan nyawanya.

Dua bait berikutnya mengisahkan tentang Raden Kumbakarna seorang raksasa yang merupakan adik dari Prabu Dasamuka (Rahwana) dari Alengka. Ia merupakan sosok yang memiliki jiwa kesatria serta semangat cinta tanah air. Saat Alengka diserang oleh tentara kera, kumbakarna turut maju, bukan untuk membantu kakaknya yang bersalah melainkan untuk maju sebagai seorang kesatria yang berusaha membela dan mempertahankan tanah kelahiran dan tanah peninggalan leluhurnya. Dan pada akhirnya ia pun gugur dimedan perang.

Bait ke 5 dan 6 berkisah tentang (Suryaputra) Adipati Karna. Siapa yang tak mengenal sisi fenomenal Adipati Karna. Adipati Karna dicatat sebagai menantu yang tak terlalu berbakti pada mertuanya, Prabu Salya. Yang paling dilematis adalah ketika Kunti, ibu kandungnya, memintanya untuk bergabung dalam barisan perang Pandawa. Adipati Karna menolak. Ia memilih bertarung dengan Arjuna, adik seibu yang seimbang kepiawaiannya dalam memanah. Ia berutang budi pada Duryudana dan telah bersumpah untuk membalas persaudaraan itu dengan sebuah loyalitas dan memegang teguh janjinya sebagi sumpah setia untuk membalas budi prabu Kurupati. Dan loyalitas itu ia buktikan hingga hembusan nafas terakhirnya. Nilai itulah yang dalam Tripama dituliskan untuk dapat menjadi inspirasi bagi para pembacanya.

Bait terakhit berisi bahwa tiga tokoh tersebut merupakan tokoh yang patut diteladan bagi orang jawa, yang perlu diambil jasa bakti serta keteladanannya untuk mencapai keutamaan dan kemuliaan. Makna filosofi yang terkandung dalam Serat Tripama:

· Serat Tripama mengandung konsep bela negara yang tertuang dalam setiap syairnya.

· Ajaran tentang cinta tanah air demi kepentingan bangsa dan negara

· Bahwa kepentingan bangsa dan negara haruslah diutamakan diatas kepentingan pribadi.

Dapat disimpulkan disini bahwa pendidikan karakter yang patut dicontoh dari ketiganya adalah, bahwa sebagai pelajar kita haruslah memiliki sifat berguna bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan; bela negara dan mau membalas budi kepada siapa saja yang memberi perubahan dalam kehidupannya.


MENULIS CERITA CEKAK dengan PARRALEL WRITING

OLEH NIKEN ADARUYUNG D.K, S.Pd

Pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia (Depdiknas,2006). Bahasa Jawa merupakan salah satu konsep pembelajaran yang sangat penting di dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Konsep pembelajaran bahasa memiliki karakteristik dan ciri khas yang berbeda dengan pola pembelajaran yang lainnya. Pembelajaran Bahasa Jawa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

Cabang dari pembelajaran Bahasa Jawa tidak hanya berporos terhadap kategori aspek kebahasaan, akan tetapi terdapat hal yang lain tetapi juga mempelajari sastra. Pembelajaran sastra juga sangat penting dengan tujuan untuk memberikan rasa cinta sastra dan menjadikan siswa memiliki kemampuan mengapresiasi dan kemampuan menilai hasil karya sastra. Pembelajaran sastra menjadi penting didasarkan terhadap pola dan karakteristik Bahasa Jawa yang penuh dengan karya tulisan dan lisan.

Menulis cerita cekak merupakan salah satu ciri khas dari pola pembelajaran sastra yang membedakan dengan pembelajaran yang lainnya. Dalam kemampuan menulis dalam mata pelajaran Bahasa Jawa, siswa kelas X SMA Negeri 2 diharuskan memiliki kompetensi untuk mampu menulis cerita cekak. Hal ini dikarenakan cerita cekak merupakan salah satu karya sastra yang menggunakan kata-kata indah dan kaya makna yang lahir sebagai karya dari seorang putra bangsa.

Pembelajaran sastra terkait penulisan cerita cekak merupakan salah satu konsep materi yang penting untuk dikaji. Pembelajaran menulis cerita cekak merupakan salah satu kompetensi dasar yang terdapat dalam kurikulum mata pelajaran bahasa Jawa. Pada dasarnya, seluruh kompetensi dasar dalam pembelajaran harus dapat dicapai siswa secara maksimal. Melalui kompetensi ini siswa dituntut untuk dapat memahami serta menulis cerita cekak sesuai dengan unsur-unsur cerita. Keberhasilan pembelajaran kompetensi menulis puisi tersebut dapat diukur melalui indikator-indikator yang tercapai secara menyeluruh, diantaranya siswa mampu (1) menentukan unsur-unsur cerita cekak; (2) menulis cerita cekak; dan (3) menyunting cerita cekak sesuai dengan unsur-unsur cerita cekak.

Implementasi model pembelajaran Pararrel Writing merupakan salah satu desain yang dapat mengarahkan siswa lebih aktif dalam menulis. Metode Pararrel Writing merupakan metode pembelajaran menulis dengan cara siswa ditunjukkan sebuah kalimat oleh guru dan kemudian mereka diminta untuk membuat kalimat yang serupa dengan kata – kata mereka sendiri (Harmer, 1984). Model pembelajaran Pararrel Writing merupakan suatu instruksi yang diberikan guru untuk membentuk suatu tulisan atau karangan dengan menggunakan kata-kata sendiri sesuai dengan model karangan yang telah diberikan oleh guru. Dalam hal ini “tema” dari cerita cekak sebagai bahan untuk dipararrelkan (disejajarkan) kepada setiap siswa untuk membuat bentuk cerita yang baru. Pada hakikatnya bahwa sebuah tema merupakan suatu konsep yang berupa abstrak. Karena keabstrakannya itulah yang akan membuat tema dari sebuah cerkak menjadi konkret dan tidak lepas dari realitas kehidupan dan pengalaman sehari– hari.

Proses pembelajaran menulis cerkak menggunakan metode pararrel writing melalui teknik pengimajian benda abstrak ini dapat disimpulkan bahwa siswa lebih antusias saat mengikuti proses pembelajaran; lebih keaktifan dalam merespon, bertanya, dan menjawab pertanyaan guru; serta intensifnya siswa saat menulis cerkak.


SKENARIO BARU BAGI IMPLEMENTASI ASESMEN KINERJA PADA PEMBELAJARAN DI INDONESIA

Niken Adaruyung D.K, S.Pd

Abstrak

Asesmen kineja direkomendasikan oleh para ahli sebagai penilaian otentik pada setiap pembelajaran Bahasa Jawa. Besaran dalam penilaian kemampuan tersebut belum dimanfaatkan oleh guru. Banyaknya jumlah siswa, tingginya beban mengajar dan keterbatasan waktu mengakibatkan asesmen tersebut belum dapat dilaksankan di sekolah. Rumitnya prosedur asesmen kinerja yang ditawarkan oleh para ahli sehingga sulit dipelajari dan dilaksanakanpada pembelajaran sehari-hari. Pada saat ini , tes masih dijadikan sebagai penilaian utama pada pembelajaran. Studi mendalam selama lima tahun menghasilkan suatu scenario baru bagi implementasi asesmen kinerja yang sesuai dengan konteks pembelajaran sehari-hari di sekolah.

Kata kunci: scenario baru, asesmen kinerja, pembelajaran di Indonesia

Pengambilan keputusan tentang siswa pada pembelajaran biasanya berupa nilai tes. Padahal keseluruhan hasil belajar itu tidak hanya menggunakan tes saja. Standar asesmen pembelajaran sains juga telah mengalami pergeseran penekanan dari “yang mudah dinilai” menjadi “yang penting dinilai” (National Reasearch Council?NRC), 1996). Penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada pemahaman dan penalaran ilmiah. Suatu penilaian otentik diperlukan untuk penilaian kemampuan (ability) siswa dalam situasi nyata / real life situations (http:www.Usoe.k12.ut.us/curr/science/Perform/PAST5.htm).

Pembelajaran sains dewasa ini masih kurang member wawasan berpikir dan kurang mengembangkan kemampuan kerja ilmiah. padahal pembelajaran itu, semestinya dapat mengembangkan kemampuan memecahkan masalah-masalah lingkungan dan wawasan berpikir untuk kehidupan masa depan yang baik (Rutherford &Ahlgren, 1990; Rustaman, 2006).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan kerjailmiah ke dalam lingkup bahan kajian. Kemampuan inkuiri menjadi aspek penting penilaian.k Kemampuan inkuiri menurut Beyer (1971) adalah suatu interaksi kompleks sejumlah pengetahuan, sikap dan ketrampilan.

Tes tradisional (objective test) tidak dapat digunakan untuk menilai penalaran ilmiah yang mendalam. Tes obyektif juga sulit mengukur kemampuan higher ordrr thingking yang dituntgut pada pembelajaran (http:www. Usoe.k12.ut.us/curr/science/Perform/PAST5.htm). dengan demikian tes obyektif kurang sesuai untuk mengukur pencapaian seluruh tujuan penting kurikulum di sekolah.

Penggunaan asesmen kinerja di sekolah masih sangat terbatas (Wulan, 2003-2007). Fakta tersebut bersesuaian dengan hasil-hasil penelitiannya (Gabel, 1993; Banta et al., 1996l; Winahyu, 1993; Ramdi, 1999; Iskandar 2000). Dari hasil penelitian terungkap tentang kesulitan guru dalam melaksanakan asesmen kinerja di sekolah.

Pada umumnya guru menggunakan asesmen kinerja hanya pada ujian akhir untuk menentukan kelulusan. Hasil penelaahan menemukan bahwa konsep dan prinsip asesmen kinerja yang ditawarkan para ahli kurang sesuai dengan kebutuhan guru dan kondisi sekolah. Rumitnya aturan dan prosedur yang ditawarkan para ahli asesmen menyebabkan konsep tersebut sangat sulit dipelajari dan sulit diaplikasikan. Dalam melaksanakan asesmen kinerja, guru dapat berkonsentrasi hanya pada siswa yang berkemampuan rendah dan tinggi saja sehingga siswa menjadifokus perhatian menjadi jauh lebih sedikit. Guru dapat memodifikasi asesmen kinerja skenariobaru untuk berbagai keperluan, misal untuk menilai diskusi kelas.

Hasil-hasil riset tentang asesmen kinerja di sekolah juga kurang berpihak kepada kondisi guru di sekolah. Pengambilan kesimpulanhasil penelitian tersebut umumnya tidak memperhatikan konteks atau setting khas sekolah di Indonesia. Akhirnya hasil-hasil riset tersebut tidak bermanfaat bagi guru.

Langkah utama yang perlu dilakukan dalam reformasi asesmen kinerja di Indonesia adalah menyederhanakan konsep, prinsip dan prosedur asesmen. Riset-riset asesmen di masa dating perlu mengacu pada konsep asesmen yang lebih simple. Apabila riset-riset tersebut masih mengacu pada konsep asesmen yang rumit, maka hasil-hasil tersebut hanya akan berakhir diperustakaan karena sulit diaplikasi.


SENANGNYA BERCERITA dengan BONEKA TANGAN

OLEH NIKEN ADARUYUNG D.K, S.Pd

Guru Bahasa Jawa SMAN 2 Tegal

Kehidupan manusia tidak dapat terlepaskan dari bahasa sebagai alat komunikasi. Keterampilan berbahasa diantaranya keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills) (Tarigan, 2008:1). Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak latihan.

Berbicara merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang bersifat produktif, untuk menyampaikan gagasan, pikiran atau perasaan sehingga gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran pembicara dapat dipahami orang lain. Bercerita sebagai salah satu bentuk berbicara. Pelaksanaan bercerita harus menguasai bahan/ide cerita, bahasa, pemilihan bahasa, keberanian, ketenangan, kesanggupan menyampaikan ide dengan lancar dan teratur sehingga mampu dan terampil dalam bercerita. Keterampilan bercerita tidak hanya diperoleh begitu saja, tetapi harus dipelajari dan dilatih.

Pembelajaran bercerita di Kelas X SMA Negeri 2 Tegal mata pelajaran Bahasa Jawa dalam KD Cerita wayang masih dijumpai banyak siswa kurang mampu mengekspresikan diri melalui kegiatan bercerita. Ketika siswa diminta bercerita di depan kelas, siswa seringkali tidak mempunyai ide, malu, grogi sehingga kata yang diucapkan menjadi tersendat/diulang-ulang. Hal ini disebabkan oleh kesulitan siswa dalam praktik bercerita karena faktor dari dalam diri siswa dan kurang mempunya siswa mengorganisasikan perkataannya pada saat bercerita.

Keterampilan bercerita akan berhasil dan meningkat dengan menggunakan media pembelajaran yang sesuai. Kurangnya pemanfaatan media dalam pembelajaran membuat siswa menjadi kurang aktif dan kreatif diantaranya menggunakan media boneka tangan. Penggunaan boneka tangan dimaksudkan untuk memotivasi siswa supaya berpikir kreatif. Siswa dapat mengorganisasikan ide-ide untuk bercerita yang ditemukan dari sebuah tokoh boneka tangan, lalu dituangkan secara bebas dengan kata-kata sendiri. Ada berbagai karakter boneka tangan yang ada di pasaran, misalnya binatang, buah-buahan, orang dan tokoh kartun yang populer dikalangan anak-anak.

Media boneka tangan dipilih untuk meningkatkan keterampilan bercerita karena dalam bercerita siswa harus mempunyai ide/bahan cerita, keberanian, penguasaan bahasa, dan ekspresi. Boneka tangan memudahkan siswa memahami konsep tentang benda-benda secara utuh, misalnya ukuran, sifat dan bentuk. Boneka tangan juga dapat merangsang siswa untuk untuk berbahasa secara lisan, misalnya sebagai model untuk mengungkapkan emosinya. Anak-anak sering terlihat melakukan percakapan dengan boneka karena mereka menganggap bahwa benda tersebut sama seperti dirinya. Oleh karena itu, penggunaan media boneka tangan dapat mempermudah siswa dalam bercerita.

Media Boneka Tangan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran keterampilan bercerita siswa kelas X SMA Negeri 2 Tegal. Siswa mengalami perubahan perilaku (peningkatan) dalam pembelajaran. Peningkatan keterampilan bercerita siswa ditunjukkan oleh keaktifan siswa selama proses pembelajaran berlangsung, perhatian dan konsentrasi siswa dalam menyimak materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, minat dan antusias siswa selama pembelajaran, pada pelajaran, keberanian siswa bercerita di depan kelas dan kerjasama kelompok sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, aktif dan kreatif ditandai dengan meningkatnya penguasaan aspek-aspek keterampilan bercerita seperti volume suara, pelafalan, keterampilan mengembangkan ide, sikap penghayatan cerita, kelancaran, ketepatan ucapan, dan pilihan kata. Media boneka tangan dapat digunakan sebagai alternatif penggunaan media yang tepat dalam pembelajaran keterampilan bercerita sehingga pembelajaran yang berlangsung aktif, siswa lebih memperhatikan dan konsentrasi pada pelajaran, siswa lebih berminat dan antusias pada pembelajaran, siswa lebih berani dan terampil bercerita di depan kelas.

Asah Kreativitas Guru Informatika dengan Google Site

Oleh:

Cahyono, S.Kom.,M.Pd.

Tahun ajaran baru 2020/2021 yang dimulai tanggal 13 Juli 2020 sudah berjalan, akan tetapi mode pembelajaran masih dilaksanakan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Berdasarkan pengalaman PJJ yang di laksananakan tanggal 16 Maret 2020 hingga akhir semester genap tahun pelajaran 2019/2020 berjalan kurang efektif disebabkan banyak kendala. Beberapa kendala yang dihadapi di antaranya sarana dan prasana siswa dalam mengikuti pembelajaran terutama akses internet, spesifikasi gawai siswa tidak mendukung aplikasi yang dipakai guru atau di bawah standar sehingga dalam pembelajaran tidak bisa maksimal karena ada saja siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran.

Berbagai hambatan tidak hanya dialami oleh siswa SMA Negeri 2 Tegal. Fakta di lapangan sebagaimana yang dikutip jatengpos.co.id (22 Juli 2020) menyebutkan bahwa penyesuaian pelaksanaan pendidikan selama masa pandemi di Jawa Tengah (Jateng) masih menghadapi hambatan. Sekitar 20 hingga 25 persen pelajar di daerah ini tidak memiliki akses layanan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) atau sistem daring. Hal itu menunjukkan bahwa pembelajaran daring belum sepenuhnya berjalan efektif khususnya di Jawa Tengah.

Melihat kondisi seperti itu guru berpikir agar siswa SMA Negeri 2 Tegal bisa mengikuti pembelajaran terutama mata pelajaran informatika secara efektif. Pembelajaran menggunakan media pembelajaran Google Sites merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ada beberapa keunggulan membuat website untuk media pembelajaran menggunakan aplikasi Google Sites di antaranya siswa lebih hemat kuota, website mudah diakses, akses secara gratis, proses pembuatannya mudah, bisa kolaborasi antar-aplikasi, gratis penyimpanan, dan mudah ditelusuri di Google.

Manfaat Google Sites dalam media pembelajaran informatika yakni guru dapat mengunggah materi sehingga siswa tidak perlu lagi meng-copy file menggunakan flashdisk. Guru bisa menyimpan perangkat pembelajaran seperti silabus dan RPP di website apabila siswa ingin mengetahui topik bahasan yang akan dibahas pada pertemuan mendatang. Guru dapat memberikan pengumuman tugas maupun materi ajar melalui website, siswa didorong untuk secara reguler mengunjungi website guru. Siswa pun dapat melihat hasil penugasan yang diberikan oleh guru.

Pada pembelajaran informatika dengan menggunakan Google Site, materi yang diunggah ke website secara bertahap sesuai dengan pokok bahasan. Tujuannya agar siswa tidak kebingungan dalam mempelajari materi. Supaya pembelajaran melalui website lebih menarik, materi yang disajikan bervariasi berupa video pembelajan interaktif, gambar-gambar yang mendukung materi, dan slide-slide materi yang diunggah ke website. Setelah siswa mempelajari materi, guru bisa mengukur tingkat kemampuan siswa dalam memahami materi dengan cara memberikan pertanyaan melalui kuis online di website.

Tahapan pembuatan website media pembelajaran yang pertama adalah membuat dashboard, pada tahapan ini guru mendesain menu/fitur yang ada pada Google Sites. Kedua membuat home, untuk mendesain halaman utama dari sebuah website. Ketiga buat hyperlink, untuk menghubungkan halaman satu dengan halaman yang lain. Keempat membuat content, untuk memasukkan teks, gambar dan video. Kelima download yaitu untuk membuat fitur download sehingga siswa bisa mengunduh materi atau tugas. Keenam, insert file yaitu cara memasukan file doc, slide, spreadsheet, pdf, gambar. Ketujuh quiz cara memasukan penugasan dalam bentuk quiz sehingga hasil pekerjaan siswa secara otomatis akan masuk ke database guru.

Dengan menggunakan website media pembelajaran guru sangat terbantu karena siswa bisa mengakses materi pembelajaran, penugasan, dan informasi terbaru dengan mudah dan hemat kuota internet. Untuk mengontrol siswa setiap pembelajaran dalam mengakses website adalah dengan memasang daftar hadir di website. Daftar hadir tersebut hanya bisa diakses pada saat jadwal pelajarannya.

Banyak sekali manfaat dari website media pembelajaran Google Site yang diperoleh guru dan siswa. Guru pun terpacu untuk mengasah kreativitasnya dalam mengembangkan beragam model pembelajaran yang didukung dengan website media pembelajaran Google Site. Tidak hanya guru informatika, semua guru mata pelajaran pun hendaknya terpacu untuk terus mengasah kreativitasnya sesuai kebutuhan dalam pembelajaran di era pembelajaran jarak jauh seperti saat ini dan masa mendatang.